- 1. Pengertian Tentang Wajib
Wajib
menurut bahasa adalah pasti atau tepat[1] sedangkan menurut istilah Ushul
Fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’[2] supaya dikerjakan oleh mukalaf[3] secara pasti dan perintah itu
disertai dengan petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib.[4] Petunjuk itu bisa berupa kalimat
perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya.
Contoh
petunjuk yang berupa kalmat perintah itu sendiri :
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ
الزَّكَاةَ … (البقرة (2) : 43)
Artinya
: Dan tegakkanlan shalat serta tunaikanlah zakat ….
(QS. Al-Baqarah
(2) : 43).
Contoh
kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ …
(البقرة (2) : 183)
Artinya
: Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa … (QS. Al-Baqarah (2) : 183).
Hukum
wajib disini harus dilakukan. Siapa yang melakukannya akan mendapat pahala,
sedangkan siapa yang meninggalkannya akan mendapatkan siksaan.
- 2. Pembagian Wajib
Wajib
ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :
Wajib
ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Wajib
ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu wajib muthlaq
(tidak terikat waktu) dan wajib muqayyad (terikat waktu).
- Wajib muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu yang dieprintah oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dan tidak ditentukan waktu pelaksanannya.[5] Seperti orang yang melanggar sumpah, dia harus membayar denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak ditentukan waktunya. Ia dapat melaksanakannya langsung setelah melanggar sumpah atau dalam jeda beberapa waktu.
- Wajib muqayyad (terikat waktu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dlam waktu tertentu.[6] Seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat diabtasi waktu tertentu sehingga tidak boleh bagi mukalaf untuk melaksanakan sebelumnya atau ia akan mendapat dosa jika melaksanakannya di luar waktu yang ditentukan tanpa uzur.
Wajib
muqayyad (terikat waktu), jika waktu wajib yang ditetapkan oleh syari’
memuat satu kewajiban dan hal-hal lain yang sejenisnya, maka waktu itu disebut muwassa’
au dzorf (yang luas atau memuat). Contohnya adalah waktu dhuhur, di dalam
waktu itu mukalaf bisa menunaikan shalat zuhur dan shalat-shalat selainnya
seperti shalat sunnah sebelum shalat zuhur. Jika waktu yang ditetapkan oleh
syari’ hanya untuk kewajiban itu saja tidak yang lain, maka waktu itu disebut
mudlqyyaq au mi’yar (yang sempit atau dibatasi), misalnya waktu puasa Ramadan.
Dalam bulan ini seorang mukalaf tidak bisa menjalankan puasa lain selain puasa
Ramadan. Jika waktu yang ditetapkan oleh syari’ tidak untuk kewajiban selainnya
dari satu segi sedangkan dari segi yang lain bisa memuat hal-hal selain
kewajiban itu, maka waktu itu disebut dzasysyibhain (yang memiliki dua
kesamaan). Contoh : waktu haji (bulan-bulan hari). Dari segi mukalaf, dia dapat
menunaikan haji hanya satu kali dalam setahun. Dari segi bahwa ibadah haji
tidak menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka waktu itu menjadi luas dan
memuat hal-hal lain yang sejenisnya.
Wajib
ditinjau dari segi ketentuannya dari syari’.
Wajib
ditinjau dari segi ketentuannya dari syari terbagi menjadi wajib muhaddad
(ketentuan yang dibatasi) dan ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi).
- wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya ditentukan oleh syari’ sehingga mukalaf tidak akan keluar dari tanggungan kewajiban itu kecuali apabila ia telah melakukannya sebagaimana syari’ telah menetapkannya[7]. Misalnya shalat lima waktu. Shalat fardlu ini harus dilakukan sesuai dengan jumlah, rukun dan syarat yang telah dibatasi oleh syari’.
- Wajib ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya tidak dibatasi oleh syari’[8]. Misalnya infak di jalan Allah, saling tolong menolong pada kebaikan, dan memberi makan orang yang lapar. Tujuan kewajiban ini tidaklah lain untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan ketentuan yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung pada jenis kebutuhan.
Wajib
ditinjau dari segi tuntunan penunainnya.
Wajib
ditinjau dari segi tuntunan penunainnya terbagi menjadi dua, yaitu wajib ‘aini
(wajib ‘ain) dan wajib kifai (wajib kifayah).
- Wajib ‘ain (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dilaksanakan oleh setiap mukalaf[9]. Misalnya: shalat, zakat, haji.
- Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya[10]. Jadi syari’ hanya menuntut dari kelompok mukalaf, jika seorang mukalaf telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukalaf yang lain, tapi apabila tidak ada seorang mukalafpun yang melakukannya maka semua mukalaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Misalnya menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar, menshalatkan orang yang meninggal, menolong orang lain.
wajib
kifayah bisa menjadi wajib ‘ain apabila tidak ada yang bisa melakukannya
kecuali mukalaf itu. Contoh : ada seorang yang tenggelam, sedang semua orang
yang menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang, maka wajib
kifayah itu menjadi wajib ‘ain baginya. Atau contoh lain, dalam satu negeri
hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit yang seharusnya wajib
kifayah menjadi wajib ‘ain sehingga dokter itu harus menolong orang yang sakit.
Wajib
ditinjau dari segi sifatnya.
Wajib
ditinjau dari segi sifatnya terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib
mukhayyar (pilihan).
- Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ dengan sendirinya tanpa pilihan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Maksudnya mukalaf harus melaksanakan kewajiban itu sendiri tanpa memilih yang lainnya. Seperti shalat, maka mukalaf harus melakukan kewajiban itu dengan sendirinya.
- Wajib mukhayyar (pilihan) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ secara samar yang mencakup semua perkara yang ditentukan[11]. Maksudnya, mukalaf diharuskan untuk memilih salah satu diantara kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan salah satunya. Misalnya denda bagi orang yang melanggar sumpah. Allah swt mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Mukalaf bisa mimilih salah satu diantaranya.